Local Beer 101: The Economy Beer
By • Thursday, 31 August 2017

Sejarah bir di Indonesia bisa dibilang sudah berlangsung lama. Dimulai sejak awal abad ke-20, saat di mana Indonesia kala itu masih dalam pendudukan kolonial Belanda. Di era tahun 1930-an tepatnya, produksi dan distribusi bir saat itu masih dikuasai oleh dua raksasa brewery, N.V. Nederlandsch-Indische Bierbrouwerijen atau yang dulu juga dikenal dengan nama Java Brewery dan N.V. Archipel Brouwerij Compagnie.

N.V. Nederlandsch-Indische Bierbrouwerijen yang berafiliasi ke Belanda memproduksi dan mengedarkan bir khas negeri kincir angin yang kita kenal dengan nama Heineken. Orang Indonesia saat itu menyebut bir Heineken dengan nama ‘bir bintang’ karena logo bintang merah yang terpampang pada kemasan botolnya tersebut. Sedangkan perusahaan bir N.V. Archipel Brouwerij Compagnie yang didirikan oleh Geo Wehry & Co merupakan unit usaha yang awalnya dibentuk dengan tujuan sebagai pabrik pembuatan dan penyulingan bir serta minuman berkarbonasi dengan es. Pabrik ini lalu dikenal sebagai pengimpor untuk bir-bir buatan Bremen di Jerman kepada brewery Koentji Beer di Indonesia. Ankerpils (yang kemudian kita kenal dengan nama Anker Beer) adalah salah satu produk bir yang dibuat oleh perusahaan tersebut.

Bicara bir lokal, ketika saya pertama kali ‘belajar’ soal bir di era 90-an, saat itu pilihannya cuma dua. Entah itu lager atau stout. Mereknya pun juga masih sangat terbatas; Bintang, Anker, atau Guinness. Bisa dibilang masih agak minim referensi untuk memilih bir saat itu. Internet juga belum secanggih sekarang. Semua sifatnya masih organik dulu dalam mencari sumber informasi. Tren café pada jaman itu (Yes, dulu beer house belum ada dan penggunaan istilah ‘bar’ belum terlalu lazim dipakai. Ha!) juga tidak banyak membantu kami-kami yang ingin berekplorasi dengan bir-bir lain di luar jenis dan merek yang sudah disebutkan tadi di atas.

Fenomena beer house atau beer garden yang muncul di awal tahun 2000-an setidaknya lumayan membantu para beer enthusiast untuk menggali lebih dalam lagi koleksi bir-bir yang ada, utamanya bir-bir lokal. Karena sesuai dengan konsepnya ‘beer house’, sudah barang tentu koleksi bir harus bervariasi. Tidak bisa bir yang itu-itu saja yang dijual.

Kembali ke bir lokal, familiar dengan produk bir seperti Kuda Putih, Panther, Panther Stout, atau Bali Hai Premium? Yes, ini adalah sebagian dari merek bir yang merupakan produksi dalam negeri alias asli buatan Indonesia. Bir-bir ini menjadi menarik bagi kami karena ‘statusnya’ yang sidestream, di luar dari ranah arus utama bir yang biasa dikonsumsi oleh mayoritas publik (baca: peminum bir kelas A dan B).

Menjadi sidestream di sini bukan karena soal rasanya, tapi lebih ke target market yang menjadi sasaran utama pendistribusiannya. Sebagai contoh, kami mengenal bir Kuda Putih untuk pertama kalinya pun secara tidak sengaja. Saat itu kami sedang kumpul-kumpul dan minum bir di sebuah beer garden di bilangan Kemang Raya sekitar 15 tahun yang lalu. Secara tidak sengaja pula pandangan kami tertuju pada sebuah leaflet yang isinya mengenai product knowledge dari si bir Kuda Putih ini. Kami lupa harganya berapa waktu itu. Kalau tidak salah di bawah Rp 15.000,- per botol untuk ukuran 620ml. Murah? Sangat! Dari situ kami akhirnya mulai mengenal bir Kuda Putih.

Memang agak sulit, bahkan mustahil, untuk menemukan bir-bir seperti ini di bar-bar yang hitungannya termasuk fancy. Sepertinya memang sudah ditargetkan kalau bir-bir tadi hanya dipasarkan khusus di wilayah sub-urban dengan target market untuk kelas B dan C. Kuda Putih misalnya, jalur distribusinya hanya meliputi daerah-daerah pinggiran di sekitar Jakarta, Bandung, Jawa Timur, dan Bali. Hampir serupa dengan Panther dan Bali Hai.

Menyandang predikat sebagai bir yang ekonomis tentu sedikit banyak berpengaruh terhadap rasa yang ditawarkan. Buat sebagian beer snob, tipe bir seperti ini mungkin tidak masuk ke dalam daftar ‘bir yang wajib kamu minum’. Namun hal ini tidak mengurangi jumlah peminat bir ekonomis tadi. Harga yang terjangkau juga menjadi salah satu faktor bir ini tetap bisa menciptakan pasarnya sendiri. Ini tentu saja memiliki dampak yang cukup positif kalau dilihat dari kacamata kesehatan. Bir yang diproduksi secara resmi, pendistribusiannya diatur sesuai dengan aturan yang berlaku, ditambah dengan harga jual yang murah tentu dapat menekan angka kematian yang disebabkan oleh maraknya peredaran minuman oplosan yang kerap terjadi di daerah-daerah.

Jadi, kalau kalian kebetulan sedang traveling atau pergi ke sebuah daerah dan secara tidak sengaja menemukan bir-bir ekonomis tadi, tidak ada salahnya untuk dicicipi. Peminum bir yang baik (dan bertanggung jawab pastinya), tidak akan pernah berhenti untuk mengeksplorasi segala jenis bir. Cheers!

Share this :