Revolusi Industri Bir
By • Sunday, 3 January 2016

Beberapa bulan lalu, media-media bisnis global ramai memberitakan akuisisi AB Inbev terhadap SAB Miller. Langkah ini merupakan aksi korporasi yang kontroversial karena nantinya akan menguasai kurang lebih 29% pangsa pasar bir global, jauh melebihi pesaing terdekatnya Heineken dan Calsberg yang masing-masing menguasai pangsa pasar sekitar 8%.

Dalam beberapa tahun terakhir, Inbev memang terkenal agresif dalam mengakuisisi perusahaan-perusahaan bir yang menjadi pesaingnya. Dimulai dari tahun 1987, Interbrew didirikan setelah merger 2 brewery terbesar di Belgia, Jupiler dan Stella Artois. Perusahaan asal Belgia ini kemudian mencaplok salah satu perusahaan bir terbesar asal Jerman, Becks Beer di tahun 2003.

Pertumbuhan non-organik Interbrew dilanjutkan di tahun 2004, perusahaan ini melakukan merger dengan raksasa bir Brasil Ambev yang memiliki brand Brahma. Perusahaan baru gabungan Interbrew dan AmBev kemudian dinamai Inbev. Tidak berhenti sampai di situ, di tahun 2008 Inbev melakukan langkah fenomenal dengan mengakuisisi perusahaan bir kebanggaan Amerika Serikat, Anheuser-Busch yang memiliki brand Budweiser. Setelah menguasai crown jewel Amerika Serikat, pada tahun 2012 Inbev melakukan akuisisi perusahaan crown jewel Mexico, Grupo Modelo yang terkenal dengan brand Corona dan Estrella.

Menjadi besar, kuat, memonopoli konsumen dan akhirnya mematikan yang kecil adalah idiom kapitalisme. Sayangnya teorema itu tidak terjadi dalam industri bir. Dalam beberapa tahun terakhir, AB Inbev mengalami stagnasi pertumbuhan. Tantangan stagnasi juga harus dihadapi perusahaan-perusahaan bir besar lain seperti Heineken, Calsberg atau Diageo (pemilik brand Guinness).

Menariknya di saat perusahaan bir raksasa mengalami malaise, perusahaan-perusahaan bir skala mikro-menengah justru mengalami renaissance. Di Amerika Serikat, negara dengan konsumsi bir terbesar kedua di dunia, pertumbuhan volume bir dari brewery mikro-menengah naik tiga kali lipat selama sepuluh tahun terakhir. Di sinilah uniknya industri bir, kompetitor terberat konglomerasi bir bukanlah raksasa lainnya melainkan dari perusahaan-perusahaan bir skala mikro-menengah yang jumlahnya ribuan.

Perlawanan atas dominasi brewery besar dalam industri bir dipelopori oleh penulis Inggris, Michael Jackson (bukan Michael Jackson penyanyi tentunya). Pada tahun 1977, Michael mengeluarkan buku The World Guide of Beer berdasarkan hasil perjalanannya mencari bir terbaik ke seluruh dunia. Dalam bukunya, Michael menunjukkan bahwa banyak bir berkualitas tinggi yang ternyata berasal dari brewery kecil dan tidak terkenal. Michael sendiri kaget dengan temuannya itu sampai mengeluarkan ungkapan yang monumental sampai hari ini “Vive la difference! Viva la revolucion!” Buku itulah kemudian meledak dan menginspirasi para penikmat bir untuk ikut mencari bir-bir eksotik ke brewery-brewery kecil.

Selera konsumen memang tidak serta merta berubah, sampai era 90an perusahaan bir besar masih menguasai bar-bar dan rak-rak supermarket. Perubahan drastis dimulai bersamaan dengan tren hidup sehat, makan produk lokal dan tanggung jawab terhadap lingkungan. Saat ini, konsumen tidak hanya minum bir lalu selesai tetapi juga mencari tahu asal brewery, siapa pemilik brewery dan bagaimana sejarah brewery tersebut. Pencarian bir terbaik ke ujung-ujung kota menjadi semacam perjalanan spiritual para penikmat bir yang akhirnya menjadi tren global. Kondisi ini membuat rak-rak supermarket mau tidak mau menyediakan tempat untuk bir-bir lokal. Di beberapa bar, juga muncul fanatisme dan gerakan perlawanan untuk konsisten tidak menyediakan bir produksi brewery raksasa.

Tren inilah yang membuat brewery tradisional milik perusahaan keluarga yang tadinya mati suri kemudian mengalami lonjakan permintaan. Fenomena ini juga kemudian ditangkap dengan baik oleh pengusaha-pengusaha baru yang memproduksi bir untuk pasar niche. Jika brewery milik perusahaan keluarga menyediakan bir dari resep tradisional yang sudah ratusan tahun, perusahaan bir baru menyajikan bir-bir eksperimental di luar pakem standar. Karena kapasitas produksi dan modal yang terbatas, brewery skala mikro-menengah biasanya hanya menjadi penguasa lokal. Di sini lokal berarti hanya terdapat di satu provinsi atau malah hanya tersedia di satu kota kecil.

Perubahan selera konsumen kemudian membuat arena kompetisi industri bir berubah drastis. Raksasa-raksasa macam AB Inbev, Heineken atau Diageo harus menghadapi lawan yang tidak sama di setiap area dan jumlahnya sangat banyak. Ramalan Michael Jackson mengenai revolusi di industri bir akhirnya terjadi. Revolusi bukan hanya terjadi pada rasa dan selera tetapi sudah meningkat menjadi revolusi persepsi. Bir-bir dari brewery besar diposisikan sebagai bir komoditas, berkualitas biasa dan tidak istimewa. Sebaliknya bir-bir lokal dipersepsikan seperti Tesla atau Rolls Royce dalam dunia otomotif. Serangan non-struktural inilah yang membuat brewery raksasa mau tak mau harus meredefinisi rencana bisnisnya.

Tidak jelas sampai kapan perlawanan terhadap industri besar ini akan mereda yang jelas teorema bahwa industri kecil tidak mampu melawan yang besar sudah dipatahkan di industri bir. Perlawanan tersebut terbukti sudah berhasil merusak tatanan kompetisi, kapankah sektor-sektor lain menyusul?

Kontributor: SilvReno

 

 

Share this :