Beer Culture: Mengenal Lebih Jauh Kesenian Tayuban
By • Thursday, 16 April 2015

Salah satu ciri masyarakat yang beradab adalah mampu melahirkan konsep pemikiran indah yang bernama seni. Seni juga merupakan unsur budaya yang mewarnai kehidupan manusia. Tayuban, yang dalam bahasa Jawanya merupakan ringkasan dari kata ditoto guyub, adalah satu dari sekian ribu warisan kekayaan budaya Indonesia.

tayuban

Kesenian Tayub masih dapat dijumpai di sepanjang daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti Blora, Pati, Rembang, Banyumas, Sragen, dan Nganjuk. Kesenian rakyat yang menurut sejarahnya sudah muncul sejak jaman kerajaan Singasari ini umum dijumpai di acara-acara seperti khitanan, pernikahan, sedekah bumi, upacara adat, maupun hajatan lain yang sifatnya festive.

Layaknya budaya lokal yang tumbuh di era kerajaan jaman dulu, kesenian Tayuban ini juga memiliki makna yang sakral. Namun seiring dengan berjalannya waktu, seni Tayub kini berubah fungsi menjadi menjadi sebuah tarian hiburan dan pesta rakyat yang bersifat sekuler.

Tayub

Secara umum, seni Tayub menggambarkan penyambutan tamu atau sosok pemimpin yang dihormati sesuai dengan hirarki kepangkatan dan status sosialnya dalam lingkup masyarakat tersebut, sehingga terwujudnya suatu keakraban dan persaudaraan. Dalam prosesi Tayuban, penyambutan dilakukan oleh penari perempuan dengan menyerahkan sampur atau selendang yang dipakai kepada tamu yang dipandang terhormat. Tamu yang menerima sampur akan didaulat untuk menari bersama dengan penari perempuan tadi.

Jika kita mengadakan sebuah hajatan, pesta pernikahan atau ulang tahun misalnya, maka kita akan memberikan suatu timbal balik sebagai bentuk rasa hormat kita terhadap orang yang kita undang. Sebagai ucapan terima kasih karena orang yang kita undang sudah berkenan untuk meluangkan waktunya untuk datang ke acara kita. Begitu juga dalam seni Tayub. Penggunaan arak Jawa seperti ciu sebagai bagian dari prosesi seni Tayub dianggap sebagai bentuk penghormatan dari tuan rumah kepada tamu yang diundang. Hal ini sudah menjadi bagian dari kultur Tayuban, seperti yang sudah disebutkan di atas tadi; sudah ada sejak jaman kerajaan Singasari.

Sesuai dengan perkembangan jaman dan alasan faktor medis, penggunaan arak Jawa dalam kesenian Tayub ini lalu secara perlahan mulai diganti dengan minuman beralkohol golongan A (5%) atau yang kita kenal sebagai bir. Sayangnya, peraturan pemerintah mengenai larangan pengadaan, peredaran, dan penjualan minuman beralkohol golongan A seperti yang tertuang dalam Permendag no. 6/2015 cukup berdampak masif terhadap seni Tayub ini. Secara rantai ekonomi, para bandar Tayub mulai kesulitan untuk mendapatkan bir untuk dijual kembali di hajatan-hajatan Tayub. Dan yang lebih berbahaya lagi, masyarakat dikhawatirkan akan kembali beralih ke cukrik atau minuman beralkohol yang dioplos tidak sesuai standar pabrik dan kesehatan, sebagai pengganti bir dalam kultur Tayuban. Jika hal ini tidak cepat diantisipasi, tidak saja nyawa manusia yang dipertaruhkan, namun eksistensi budaya itu sendiri juga akan terancam pudar.

Photos courtesy of www.brangwetan.wordpress.com, www sukatari.wordpress.com & www.dgi.or.id

Share this :