Beer Culture: Tuak & Bir Dalam Kultur Masyarakat Batak
By • Friday, 22 May 2015

Ada di antara teman-teman yang pernah mencoba tuak? Buat kalian yang tinggal di seputaran Jakarta, minuman beralkohol khas Sumatera Utara ini tidak terlalu sulit didapatkan di beberapa restoran khas Medan atau yang lazim dikenal dengan nama lapo tuak.

Tuak sendiri merupakan hasil sadapan dari pohon enau (dalam bahasa Batak disebut sebagai pohon bagot) atau yang kita kenal dengan nama aren, yang hasilnya disebut sebagai nira. Ada dua macam tuak yang dihasilkan berdasarkan prosesnya. Yang pertama adalah tuak raru yang merupakan hasil fermentasi dengan ramuan sejenis kulit kayu dan memberikan rasa yang pahit dengan kadar alkohol 3-5%. Sedangkan tuak yang kedua, atau dikenal dengan nama tuak na tonggi, memiliki rasa yang manis dengan kadar alkohol yang berkisar antara 1-3%.

Berdasarkan data-data yang kami himpun, tuak juga berfungsi sebagai sarana perwujudan silaturahmi di antara hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan, yang dalam bahasa Bataknya dikenal dengan istilah Dalihan Na Tolu. Bagi masyarakat Batak, selain sebagai minuman khas, tuak juga memiliki arti sebagai minuman kehormatan yang digunakan dalam berbagai upacara adat maupun dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sudah menjadi budaya yang melekat pada diri masyarakat Batak. Makna meminum tuak memiliki arti yang khusus sebagai sarana keakraban, ungkapan terima kasih, dan sebagai minuman persahabatan. Dalam sebuah pesta adat, tuak biasa dikonsumsi untuk menciptakan hubungan yang mendalam sekaligus sebagai isyarat untuk mempermudah komunikasi di antara sesama anggota masyarakat.

Lalu bagaimana proses pembuatan tuak itu sendiri? Proses pembuatan tuak tidak memiliki standar yang baku dan umumnya masih dilakukan dengan cara yang tradisional. Setiap penyadap memiliki cara tersendiri dalam meramu tuak dan berusaha untuk memberikan cita rasa yang maksimal terhadap tuak yang dihasilkan. Tuak yang diproses rata-rata hanya dapat bertahan selama 24 jam. Lewat dari jangka waktu tersebut, tuak akan berubah rasa menjadi asam dan beresiko menyebabkan keracunan. Hal ini kemudian menjadi titik balik bagi masyarakat Batak untuk dapat perlahan-lahan mengganti tuak dengan minuman beralkohol yang diproduksi secara modern dengan memperhatikan standar mutu yang diakui secara medis.

Memasuki era 1980-an, dengan memikirkan faktor kesehatan dan juga unsur prestise, bir mulai menggantikan peran tuak dalam berbagai acara maupun pesta adat yang dilaksanakan oleh masyarakat Batak. Meskipun tidak lagi menggunakan tuak yang diproses secara tradisional, bagi masyarakat Batak bir yang disajikan dalam pesta-pesta adat tetap memiliki arti sebagai minuman kehormatan. Lisoi

Share this :