Beer Trip: Dari Belahan Timur Bumi Menuju Pantai Timur Amerika
By • Thursday, 25 January 2018

Melakukan perjalanan ke belahan dunia lain sembari menjalani ritual bir bisa jadi merupakan bucket list dari banyak beer enthusiast, termasuk saya sendiri tentunya. Kesempatan untuk berpetualang tersebut sebenarnya juga terjadi tidak sengaja. Karena ada suatu hal penting yang menyangkut urusan keluarga, saya harus terbang ke Amerika bulan Desember tahun lalu. Dibilang sebagai vacation trip sih tidak juga, karena perjalanan saya ke sana ini memang sifatnya urgensi. Niat untuk berwisata secara total pun sudah tidak ada di benak saya saat itu. Tapi untuk sekedar berwisata bar sambil mencicipi beragam bir di sana, ini bisa menjadi sebuah pengecualian.

Kota yang harus saya datangi saat itu bernama Jackson, sebuah kota kecil di negara bagian New Hampshire (NH) yang terletak di dataran tinggi dan termasuk di wilayah Pantai Timur. Butuh waktu sekitar 3 jam berkendara dengan mobil dari Boston untuk sampai ke sana, karena di NH memang tidak ada lapangan udara besar yang melayani rute penerbangan internasional. NH sendiri dikelilingi oleh tiga negara bagian seperti Massachusetts di bagian Selatan, Vermont di bagian Barat, Maine serta samudra Atlantik di bagian Timur, dan Quebec yang merupakan salah satu provinsi dari Kanada di sebelah Utara. Karena terletak di dataran tinggi, cuaca di NH terbilang cukup dingin. Ditambah lagi saat itu merupakan musim dingin di mana suhu udara bisa mencapai minus sepuluh derajat celcius di malam hari dan nol derajat celcius di saat pagi.

Petualangan bir hari pertama saya dimulai di Maine saat kami hendak berangkat menuju NH. Kota ini memang sangat terkenal dengan masakan lobsternya. Tidak heran kalau di sepanjang jalan di Maine, sangat mudah untuk menemukan restoran yang menjual lobster sebagai menu andalannya. Pilihan untuk mencicipi lobster jatuh ke sebuah restoran yang bernama Warren’s Lobster House. Restoran yang sudah beroperasi sejak tahun 1940 ini terletak persis di pinggir laut dengan pemandangan menakjubkan yang menghadap ke samudra Atlantik.

Seperti yang pernah dibahas di beberapa artikel sebelumnya, budaya bir kriya memang sudah menjadi bagian dari sub-kultur bir di Amerika. Eksistensinya pun bisa dibilang cukup setara dengan bir-bir yang dibuat oleh perusahaan besar. Dan bahkan tren bir kriya ini pun justru banyak tumbuh subur di seantero negara bagian Amerika Serikat hingga ke kota-kota kecilnya. Bir sudah dianggap sebagai bagian dari identitas bergengsi dari suatu daerah. “Kotamu dinilai dari bir kriya ciptaanmu”. Mungkin kurang lebih seperti itu analoginya.

 

Kembali ke restoran lobster tadi, setelah membolak-balik menu dan memilih makanan, saatnya untuk melihat menu birnya. Tidak terlalu banyak pilihan memang, tapi justru ini membuat saya menjadi mudah untuk menentukan bir apa yang harus saya cicipi. Layaknya makanan, saya juga mencari bir apa yang paling banyak dipesan orang. Tidak membutuhkan waktu yang lama, pilihan saya akhirnya jatuh ke Baxter Stowaway IPA setelah membaca keterangan tambahan di bawahnya yang menyatakan kalau bir yang diproduksi di Maine ini merupakan bir yang cukup populer dan menjadi kebanggaan dari warga di sini.

Sejujurnya saya memang bukan penggemar bir dari kalangan IPA karena rasa pahitnya yang kurang cocok di lidah. Dan ini terbukti saat pertama kali saya menyesap Baxter Stowaway. Tanpa basa-basi, rasa pahitnya cukup menggigit dan cenderung agresif, namun terasa segar saat melewati kerongkongan. Bir dengan kandungan alkohol sebanyak 7% ini rasanya memang teman yang sangat pas untuk dinikmati sambil menyantap masakan laut, seperti lobster.

Petualangan berikutnya berlanjut ketika saya akhirnya tiba di Jackson, NH. Kota ini akan menjadi tempat tinggal saya selama 12 hari ke depan. Karena bersamaan dengan musim dingin, tidak banyak tempat yang dapat dikunjungi di sini, selain resort untuk ski tentunya. Beruntung di wilayah Jackson dan sekitarnya tidak sulit untuk mencari bar. Tercatat ada sekitar 16 bar yang beroperasi di sana, namun yang benar-benar dekat dengan tempat tinggal saya dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki hanya ada dua bar, The Shannon Door Pub Restaurant, yang merupakan bar ala Irlandia, serta The Moat.

The Shannon Door Pub buat saya pribadi merupakan bar yang cukup menyenangkan dan cukup terasa otentik khas Irlandianya. Bir yang dijual di sini lumayan bervariasi mulai dari bir Amerika yang cukup umum seperti Budweiser, Corona, Miller, hingga bir kriya seperti Pig’s Ear Brown Ale. Bar yang cukup berkesan untuk saya selama di sana adalah The Moat. Letaknya dekat sekali dengan pemukiman, dan sepertinya memang hal yang jamak di sana kalau banyak microbrewery yang beroperasi dekat dengan areal tempat tinggal warga. The Moat tidak saja merupakan bar biasa, namun tempat ini juga memproduksi birnya sendiri yang diberi nama Moat Mountain. Area brewingnya terletak persis di bagian bawah dari bar. Sayangnya, saya tidak sempat untuk melihat secara langsung tempat untuk melakukan proses brewing tersebut. 

Moat Mountain sendiri memproduksi beberapa jenis pilihan bir mulai dari ale, lager, stout seperti East Intervale IPA, Imperial Stout, Czech Pilsner, Miss V’s Blueberry, Square Tail Stout, dan beberapa signature beer lainnya. Bar The Moat juga memberikan layanan spesialnya untuk para tamu yang baru pertama kali datang dan bingung untuk memilih bir Moat Mountain mana yang sebaiknya dicicipi. Cukup dengan membayar $10, kita bisa mendapatkan 8 gelas tester dengan ukuran 16 oz dan berkesempatan untuk menyesap 8 signature beer Moat Mountain. Uniknya lagi, untuk dapat mencicipi tester tersebut ada aturannya. Pengunjung diharuskan untuk meminum sesuai dengan urutan gelasnya, dimulai dari Hoffman Weiss yang cenderung ringan dan sedikit fruity lalu diakhiri di Square Tail Stout yang rasanya cukup heavy.

Beerventure saya ternyata tidak berhenti di New Hampshire saja. Karena suatu hal lagi, saya diharuskan untuk berangkat ke New York yang jaraknya kurang lebih 6 jam perjalanan darat dengan mobil atau sekitar 1.5 jam jika menggunakan pesawat terbang. Meski hanya memiliki waktu satu malam saja, tidak mengurangi kesempatan saya untuk mengeksplor bir di kota yang tidak pernah tidur ini. Ditemani oleh seorang kawan baik asal Indonesia yang sudah menjadi warga negara Amerika dan bermukim di New York lebih dari dua dekade, saya dibawa ke sebuah daerah bernama Queens yang letaknya agak di pinggiran dari Manhattan. Di sini ada sebuah restoran Mexico yang terkenal dengan Michelada-nya, bir cocktail ala Mexico yang dikombinasikan dengan jeruk nipis, saus Tabasco, lada bubuk, serta sedikit garam yang dioleskan di bibir gelas bir. Agak mirip seperti minuman Bloody Mary. Bedanya, Bloody Mary menggunakan bahan utama dari vodka. Terus terang, ini pengalaman saya pertama kali mencicipi Michelada. Rasanya cukup eklektik di mulut dan tenggorokan. Segar, asam, dan sedikit pedas. Cocok sambil dinikmat dengan menyantap quesadilla.

Melengkapi bucket list saya yang lainnya, malam terakhir di New York saya sempatkan untuk mengunjungi Saint Vitus Bar, sebuah bar bernuansa heavy metal yang letaknya di daerah Brooklyn. Lagi-lagi karena ini musim dingin dan menjelang natal, jangankan di stadion besar, mengharapkan sebuah konser rock di bar kecil pun terasa sangat mustahil. Tidak banyak bir spesial yang ditawarkan di sini. Hanya ada satu signature beer milik bar ini yang diberi nama St. Vitus Lager serta beberapa produk bir besar lainnya. Oh ya, tapi di sini saya justru berkesempatan mencicipi edisi terbaru dari bir rilisan The Trooper yang diberi nama Hallowed.

19 jam penerbangan, 10 jam rute perjalanan darat, enam negara bagian, dan suhu yang kurang bersahabat, semua ini terbayarkan dengan pengalaman bir yang cukup menyenangkan. Semoga suatu saat bisa kembali lagi dan merasakan beerventure yang lebih dahsyat dari ini.

Cheers! 

Share this :