Bir Itu Milik Kita : Amerika, Seni, & Iklan Bir Pasca Perang Dunia Kedua
By • Tuesday, 10 December 2019

Sejauh yang kita ketahui, bir seolah sudah menjadi sesuatu yang biasa di Amerika. Bir tidak berbeda dengan minuman ringan atau produk pangan lainnya yang sudah biasa ditemui sehari-hari. Ternyata kondisi itu tidak terjadi begitu saja. Apa yang selama ini kita persepsikan tentang Amerika dan bir, membutuhkan usaha yang tidak sebentar.

Bahkan pada suatu masa, bir sempat dilarang, dan bahkan ketika pelarangan tersebut tidak lagi berlaku, bir tidak begitu saja diterima oleh masyarakat. Dibutuhkan akhir dari sebuah masa peperangan dan karya seni dalam bentuk iklan untuk meyakinkan sebuah bangsa bahwa..”Beer Belongs”..bir itu milik kita.

Pembebasan Berbuah Cerca

8 tahun setelah berlakunya amandemen ke 21 yang mengakhiri pelarangan bir, ditandai dengan dentuman awal Perang Dunia 2 pada tahun 1941, 7.700 wilayah yurisdiksi dari 12.400 area menyatakan tidak mendukung konsumsi bir. Hal ini menandai sebuah ‘dry era.’

Bahkan muncul usulan untuk melarang alkohol dari kamp pelatihan militer dengan tujuan untuk membuat “zona moral” yang mengkriminalisasi alkohol beserta tindakan “tak bermoral” lainnya dengan radius 10 mil dari kamp pelatihan. Sebuah publikasi mendeskripsikannya sebagai, “hantu pelarangan nasional telah kembali dan akan hidup kembali dengan samaran kebutuhan masa perang.”

Para pegiat pelarangan berhasil menghembuskan persepsi buruk tentang bir dan produk minuman hasil suling pada publik.

Seorang ahli dari Smithsonian’s National Museum of American History sekaligus kurator American Brewing History Initiative, mengungkap, “Sejak pertengahan abad 19 hingga abad 20, bir diasosiasikan dengan pekerja, yang menikmati bir di luar rumah dan kedai minuman.” Mereka yang menolak, mengkritik keras kedai-kedai minum yang digemari oleh kaum imigran. Kritik inilah yang berperan penting membawa masa pelarangan.

Kampanye Dari Para Pembuat Bir di Masa Perang

Sementara kondisi bangsa tengah kalut dan bahu membahu untuk menghadapi perang, persepsi negatif terhadap bir pun terus terbawa hingga Perang Dunia 2.

Kampanye dari para produsen bir muncul secara luas di berbagai publikasi dengan bunyi “Moral Itu Terdiri Dari Hal-Hal Kecil.” Publikasi yang dimaksud diantaranya: Look, Time, Life, Ladies Home Journal, Colliers, dan lusinan publikasi pertanian lainnya. Kebanyakan dari iklan-iklan ini memperlihatkan suasana sehari-hari seperti lelaki yang baru keluar dari tempat potong rambut, keluarga yang sedang piknik, atau seseorang yang sedang memancing.

Salah satu tema umum yang sering digunakan adalah penggambaran tentara, pelaut, atau angkatan udara yang digambarkan sedang menulis surat untuk dikirimkan ke rumah.

Titik fokus gambar memperlihatkan ia tengah bersantai di tandu berayun sementara istrinya membawakan bir, menghirup bau daging yang matang di acara makan keluarga, atau memancing. Tujuan yang ditekankan adalah untuk mendorong korespondensi dengan para prajurit, sebuah usaha oleh United States Brewers Foundation yang dihargai oleh Angkatan Darat, Laut dan Udara Amerika.

Iklan-iklan itu memunculkan kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang diperjuangkan oleh para prajurit. Penggambaran tersebut juga melukiskan bir sebagai minuman perantara, yang diakhiri dengan kata-kata seperti “Segelas bir atau ale – meskipun bukan sebuah keharusan tentunya….bisa jadi hal kecil yang membawa kita semua pulang, yang membangun semangat-kita dan dia.”

Menjadikan Bir Milik Kita Semua Setelah Perang Dunia 2

Ketika perang memasuki tahun terkhirnya pada 1944, banyak perusahaan mulai bersiap dan menyiapkan rencana untuk Amerika pasca-perang. Pembuat bir sangat sadar bahwa tahun-tahun peperangan mulai dari 1941 hingga 1945 menyaksikan konsumsi bir tumbuh dari 56.8 juta barrel menjadi 80 juta.

Melihat akhir masa perang sebagai momentum untuk membentuk ulang peran bir di Amerika, Brewers Foundation mempekerjakan J.Walter Thompson, salah satu firma humas terbesar di dunia untuk mengembangkan sebuah kampanye iklan.

Seperti yang sudah ditebak, Amerika pasca-perang memperlihatkan peningkatan konsumsi dan belanja karena  ketersediaan barang. Tentara yang pulang dari perang, dengan membawa kesukaan mereka pada bir yang dipelajari selama mereka tinggal di Eropa, menikah, membeli rumah dan perabotan, kemudian bermukim di pinggiran kota.

Dengan kondisi seperti ini, firma humas melakukan sebuah survei nasional tentang konsumsi bir untuk mempertajam fokus kampanye mereka. Hasilnya tidak mengejutkan, bahwa mayoritas penikmat bir adalah laki-laki berusia 21-40 tahun. Studi tersebut menemukan bahwa mereka yang tidak mengkonsumsi bir adalah pendukung pelarangan dengan angka 60 persen.

Diketahui juga bahwa bir belum dianggap cocok atau diterima secara sosial untuk konsumsi rumahan. Pihak firma memahami, bahwa rumah adalah ladang pembuktian terbaik untuk menguji produk apapun. Jika sebuah produk sudah diterima di dalam rumah, maka produk tersebut akan menjadi bagian dari hidup. Lahirlah kampanye “Beer Belongs” yang beredar melalui kanal media massa cetak.

Ketika Seni Mengubah Persepsi

Kampanye “Beer Belongs” memiliki beberapa tujuan. 2 hal yang paling penting adalah membuat bir diterima secara sosial agar menjadi bagian dari kehidupan warga Amerika, dan mencegah agar pelarangan tidak kembali lagi. Tujuan ketiga, adalah mengakui peran perempuan sebagai pembeli dan penghidang bir di rumah.

Sebuah seri iklan “Home Life in America” berperan sangat penting dalam mengubah persepsi bir di Amerika pada tahun 1940 hingga 1950-an. Hal ini diakui oleh presiden Beer Institute, Jim McGreevy.

“Baik disediakan ketika teman sedang piknik di pantai atau menjadi pilihan minuman perayaan setelah melamar menikah, gambar-gambar dalam kampanye ini menjadikan  banyak suasana menjadi identik dengan bir,” ujar McGreevy.

Seniman Terkenal Didaulat Untuk Menciptakan Pemandangan Indah Amerika Yang Disertai Bir

Karya-karya indah oleh seniman terkenal pada saat itu menjadi jantung dari seri pertama kampanye iklan “Beer Belongs.” Para seniman tersebut diantaranya adalah Lucille Corcos, Doris Lee, Julien Binford, Marianne Appel, Fletcher Martin dan William Palmer.

Gaya seni mereka beraneka ragam mulai dari primitif modern, realisme sosial dan bermacam-macam teknik melukis. “Harvest Time” oleh Doris Lee saat ini terpajang di Smithsonian’s Reynolds Center for American Art. Merupakan salah satu karya yang melampaui karya iklan dan menjadi koleksi museum maupun pribadi.

Ketua kurator, Virginia Mecklenburg dari Smithsonian American Art Museum mencatat, “Kesemuanya ini adalah seniman terkenal yang namanya bergaung diantara para pembaca.” Keikutsertaan para seniman ini melegitimasi kampanye tersebut dan menarik perhatian banyak orang.

Karya-karya seni itu menggambarkan pemandangan khas Amerika yang meletakkan bir sebagai bagian dari pemandangan. Kata-kata penguat pun bisa dibaca:

“In this America of tolerance and good humor, of neighborliness and pleasant living, perhaps no beverage more fittingly belongs than a wholesome beer. And the right to enjoy this beverage of moderation…this, too, is part of our American heritage of personal freedom.”

Setiap kalimat diakhiri dengan “America’s Beverage of Moderation” dan kemudian dalam cetak besar:” “Beer Belongs..enjoy it”

Iklan itu juga menawarkan, “Cetak ulang dari lukisan cat minyak ini, tanpa iklan dan cocok untuk dibingkai,” jika ada permintaan yang dikirimkan kepada Brewers Foundation. Karya seni itu cukup dikenal sehingga banyak orang yang ingin memajangnya di rumah. Salah satu perkiraan menyatakan ada lebih dari 100.000 permintaan.

Seri Kedua Kampanye “Beer Belongs”

Pada seri kedua, seniman yang terlibat diantaranya adalah Douglas Crockwell dan Haddon Sundblom. Dikenal karena karya-karya komersialnya, Sundblom bisa dikatakan sebagai seniman yang paling dikenal. Ia menciptakan The Quaker Oat Man, wajah senyum Aunt Jemima, dan Santa Claus untuk Coca Cola. Kampanye seri kedua ini juga menyertakan teks yang mendukung bir sebagai bagian alami dari rumah di Amerika.

Ilustrasi menampilkan keluarga Amerika yang tipikal- dari malam-malam bermain bowling hingga berakhir pekan di danau. Di suatu tempat dalam gambar, bir berada di atas meja, di dalam kotak pendingin, di atas baki, atau di dalam genggaman seseorang.

“Planning The Newlywed’s Home” karya dari Haddon Sundblom memperlihatkan dua pasang orang tua dan anak mereka yang menikah sambil melihat rancangan arsitek. Ada bir di bagian belakang meja.

“Thanksgiving Dinner” karya Crockwell memperlihatkan sebuah meja makan dengan ayam di atasnta, sementara seorang ibu berambut putih membawa baki dengan gelas bir tinggi”. Karyanya yang lain dengan judul “Grandmother Hangs The Mistletoe” juga memiliki skenario yang sama.

Sebuah Cermin Waktu

Iklan-iklan itu menjadi pantulan budaya dan dianggap sebagai salah satu kampanye terbaik pada eranya. Sebagai sudut pandang pembanding di televisi, coba ingat-ingat “Adventures of Ozzie and Harriet,” “Father Knows Best,” dan “Leave It To Beaver.”

Karya seni tersebut bermaksud untuk mengubah persepsi tentang bir di rumah-rumah dengan tema utama yang sama. Orang-orang yang digambarkan semuanya nampak berasal dari kalangan kelas menengah atas atau lebih. Bisa jadi ini adalah taktik untuk memberi inspirasi dan aspirasi bagi yang lain.

Pada sebagian besar dari ilustrasi indah ini, terdapat jumlah yang sama antara laki-laki dan perempuan yang berpakaian rapi. Pria sering memakai jas dengan kemeja putih atau jaket olahraga jika berada di rumah. Wanita biasanya menggunakan gaun atau rok panjang. Seperti banyak iklan-iklan dari masa sebelum perang sipil, tidak ada kaum minoritas yang ditampilkan.

Pada tahun 1956, seri ini dituntaskan, namun keberhasilan dari penggunaan seni rupa untuk menggugah publik masih terasa hingga hari ini. Sekarang, bir bisa ditemui di rumah-rumah, pada berbagai acara dn perayaan. Para anggota Brewers Foundation dari era 1940-an tentu bangga.

 

Via : Craftbeer.com

 

 

Share this :