Tarif Cukai Bir Akan Naik: Yay or Nay?
By • Wednesday, 19 December 2018

Drama yang melibatkan sektor industri minuman beralkohol di Indonesia sepertinya masih jauh dari ‘kata sepakat’ yang melibatkan setiap stakeholder-nya. Mungkin di antara teman-teman masih ada yang ingat betapa hebohnya waktu itu saat pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan peredaran dan distribusi minuman beralkohol di gerai mini market yang dituangkan ke dalam Permendag no. 6 tahun 2015? Yeap, efek domino yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut mengakibatkan timbulnya satu permasalahan di atas permasalahan yang lain. Kami tidak anti dengan kebijakan tersebut, hanya saja kami merasa ada yang suatu action yang kurang yang seharusnya bisa dipadupadankan saat peraturan tersebut dikeluarkan.

Masih berhubungan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, baru-baru ini Menteri Keuangan Sri Mulyani, melalui instansi yang dipimpinnya, memutuskan untuk menaikkan tarif cukai untuk Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) dengan kadar alkohol di bawah 5%, dari harga Rp 13.000 menjadi Rp 15.000 per liternya. Peraturan ini sendiri sudah diundangkan pada tanggal 13 Desember 2018 kemarin dan efektif berlaku mulai 1 Januari 2019.

Keputusan ini rupanya mendapat respon berupa penolakan dari produsen bir lokal. Mereka menolak dengan alasan industri bir di Indonesia masih dalam tahap pertumbuhan. Dan jika pertumbuhannya mengarah ke positif, tentu pemerintah bisa mendapatkan cukai dalam jumlah yang lebih besar dari sektor tersebut.

Mengutip dari laman Detikcom, Direktur PT Multi Bintang Indonesia Tbk, Bambang Britono, menjelaskan kalau pihaknya keberatan dengan kenaikan cukai bir karena industri birnya sendiri sedang lesu sejak 2014 hingga 2018 ini dan cenderung mengalami penurunan tren. Menurutnya lagi, tidak berkembangnya industri bir lokal saat ini disebabkan oleh putusnya jalur distribusi ke pengecer sebagai salah satu dampak dari adanya Permendag No. 6/2015 tersebut. Sedangkan peran pengecer ini dirasa sangat perlu dan penting mengingat konsumen mempunyai pilihan untuk membeli bir dan dibawa pulang, selain untuk dikonsumsi di tempat-tempat seperti bar, cafe, atau restoran.

Dari sisi pemerintah sendiri, kenaikan cukai bir ini dirasa perlu karena selama empat tahun terakhir ini industri minuman beralkohol golongan A mengalami stagnansi. Kenaikan cukai ini juga merupakan bentuk penyesuaian pemerintah terhadap inflasi. Menurut Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai DJBC, Nirwala Dwi Heryanto, selama ini produsen bir menaikkan harga jual eceran setiap tahunnya. Namun selama kurun waktu 4 tahun, cukainya tidak mengalami kenaikan sehingga rasio pembayaran cukai terhadap omzet terus menurun.

Bicara dari kacamata konsumen, kenaikan cukai bir ini tentu akan menjadi sebuah permasalahan baru yang dampaknya bisa berpengaruh ke berbagai lini. Harga bir dengan sendirinya akan menjadi naik dan mungkin akan berpengaruh juga ke dalam kuota produksinya. Katakanlah harga penjualan bir menjadi meningkat dan tidak berbanding lurus dengan kuota yang diproduksi, lalu kemana orang akan mencari minuman beralkohol yang diproduksi sesuai dengan ketentuan dan di bawah pengawasan pihak yang berwenang? Lagi-lagi minuman oplosan bisa menjadi jawaban yang mematikan dalam arti sebenarnya. Turunan dari imbas ini tentu saja bisa bermacam-macam. Salah satunya mungkin angka kriminal dan kematian yang meningkat akibat mengonsumsi oplosan. Ini tentu saja tidak akan sejalan dengan kampanye yang sudah dilakukan oleh pemerintah sendiri, produsen bir, ataupun kolektif-kolektif yang peduli dengan peredaran dan cara mengonsumsi minuman beralkohol secara baik dan bijak.

Mungkin memang ada baiknya jika pemerintah dan produsen bir duduk bersama membahas masalah ini. Jika perlu, undang sekalian stakeholder lainnya di luar dua institusi tersebut, seperti pengamat sosial, dokter, atau penikmat bir pada umumnya, supaya keputusan yang diambil tidak saja menguntungkan satu pihak tapi dapat juga memberikan sebuah win-win solution bagi semua aspek yang terlibat di dalamnya.

Cheers!

Share this :