Alkohol sudah lama menjadi sumber inspirasi para musisi di seluruh dunia. Bir, terutama, telah menjadi semacam ikon rock n roll dan pemberontakan sepanjang masa. Beberapa ikon music sampai dengan ikon olahraga pun pernah terlihat berpose dengan sekaleng bir di tangannya. Siapakah yang bisa melupakan entrance Stone Cold Steve Austin yang berlari menuju ke ring WWE Smackdown dengan membawa dua kaleng bir di tangannya? Bahkan raksasa metal Iron Maiden pun sampai ikut memproduksi merk bir yang memakai namanya sendiri.
Di tahun 1956, sebuah film yang berjudul Die Fischerin vom Bodensee, mempopulerkan lagu berjudul Im Himmel gibt’s kein Bier, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul In Heaven There is No Beer oleh Art Walunas. Lagu tersebut kemudian disertakan ke dalam film pemenang Sundance Film Festival tahun 1985 dengan judul yang sama dan kemudian kembali dipopulerkan oleh The Pogues dan The Dubliners, membuat lagu tersebut semakin populer di kalangan Mods dan Skinheads.
Lagu In Heaven There Is No Beer bercerita tentang sensasi meminum bir dan alasan kenapa kita harus menikmati bir selagi kita hidup. Mungkin lagu ini juga yang menginspirasi Billy Gibbons, Dusty Hill, dan Frank Beard dari ZZ Top untuk menulis lagu Beer Drinkers and Hell Raisers di tahun 1973 lewat albumnya yang bertajuk Tres Hombres. ZZ Top menggambarkan secara eksplisit bagaimana kultur bir dan musik sebagai satu kesatuan yang chaotic, namun pada intinya adalah: Bersenang-senang!
“An’ the crowd gets loud when the band gets right
Steel guitar cryin’ through the night
Yea, tryin’ to cover up the corner fight
But everything’s cool ’cause they just tight
Beer drinkers an’ hell raisers, yea
Huh, baby, don’t you wanna come with me?
Aah, play it boy”
Band punk asal Inggris, The Adicts, malah melontarkan pertanyaan tentang siapa yang menumpahkan bir mereka di dalam lagu Who Spilt My Beer. Sebuah lagu yang sangat sederhana, yang berasal dari kalimat yang tak kalah sederhananya; ”What is it with British bands and beer?” Mungkin itu pertanyaan yang sudah sangat sering dilontarkan oleh pendengarnya. Apakah ada hubungannya dengan kultur bir yang memang sangat dominan di sana?
Sebuah band asal Amerika Serikat, tepatnya dari Los Angeles, California, bernama Flogging Molly menceritakan tentang Charlie Mops dan eksperimennya dengan hops yang menghasilkan minuman yang kita kenal sekarang dengan nama bir, di dalam lagunya yang berjudul Beer, Beer, Beer. Walaupun berasal dari Amerika Serikat, Flogging Molly membawakan lagu-lagu beraliran Irish Folk dengan sentuhan punk ala Dropkick Murphys, dan membuat kita berpikir,”Apakah koneksinya antara bir dan band-band dari Inggris Raya atau yang sealiran dengannya?”
Municipal Waste dan legenda punk/hardcore, Black Flag, dua band dari Amerika Serikat, mematahkan teori tersebut. Di dalam lagu Beer Pressure, Municipal Waste bercerita tentang bagaimana menghabiskan waktu dan bersenang-senang bersama teman-teman sambil menenggak bir. Sementara Black Flag memilih rute lirik yang lebih gelap dalam lagu Six Pack. Dari Jakarta, kolektif Lawless Vomit Crew merilis sebuah single berjudul Dunk As Frukk yang merupakan permainan kata dari Drunk As Fukk, menimbulkan kesan bahwa si penyanyi sedang mabuk sehingga dia salah melafalkan kalimat tersebut.
Dari sedikit rangkuman di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa bir dan musik bersifat universal serta berjalan secara beriringan. Bir bisa menjadi sumber inspirasi bagi para seniman dan terkadang bisa membantu menghilangkan writer’s block. Bir pun acap kali digunakan sebagai lambang semangat pemberontakan dalam rock n roll, yang membuat rocker-rocker di dunia kerap diasosiasikan dengan bir. Jadi, pasanglah lagu favoritmu, nikmatilah dengan sekaleng bir, dan jadikanlah pengalaman mendengarkan musikmu lebih berwarna \m/
Copyright Beergembira.com. All rights reserved. 2024.