Korea Selatan adalah negara yang dikenal dengan pertumbuhannya yang cepat, sementara Seoul yang menjadi ibu kotanya terus berubah tanpa henti. Selalu ada bangunan baru di setiap sudutnya, jalan yang kita lewati hari ini bisa jadi berubah total dalam waktu 2 bulan.
Seseorang yang tinggal di kota Seoul pada era 90’an dapat dengan mudah melihat perkembangan kota di depan mata.
Dengan pertumbuhan ekonomi seperti ini, keterbukaan terhadap budaya pendatang pun akan cepat terasa terutama hubungannya dengan budaya makanan. Korea menyediakan beragam jenis kuliner untuk dinikmati, namun hal yang sama tidak bisa dirasakan oleh orang-orang yang mencari bir atau segelas wine untuk dinikmati di akhir pekan. Pilihan minuman beralkohol bisa dikatakan terbatas, sementara merk-merk internasional dibandrol dengan harga yang tinggi.
Maka muncul pertanyaan, di mana semua bir itu?
Perkenalan Korea Dengan Bir
Bir pertama kali diperkenalkan di Korea pada awal abad 20, dan tak lama kemudian mulai tumbuh skena pembuat bir lokal. Hite Brewery (pada awalnya dikenal sebagai Choun Brewery) pertama kali dibuka tahun 1933 dan Oriental Brewery (OB) mulai terjun pada tahun 1952.
Pasar minuman beralkohol di Korea telah lama didominasi oleh dua nama besar ini, Hite-Jinro dan Oriental Breweries, dengan cakupan pasar bersama mencapai 90%. Dominasi keduanya bisa dikatakan dipengaruhi oleh perpajakan yang mendukung skala ekonomi, perijinan yang terbatas untuk pembuat bir dalam skala kecil dan pajak tinggi yang dipungut untuk produk impor.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi pergerakan yang berorientasi pada budaya alkohol internasional. Memang produk lokal seperti Soju dan minuman lokal lainnya masih terhitung banyak di bar dan restoran di Seoul, tapi bagi mereka yang ingin mencoba sesuatu yang berbeda seperti Indian Pale Ale (IPA) atau French Sauvignon Blanc, masih ada masa depan yang cerah karena semakin banyak tempat yang menawarkannya.
Cass, perusahaan yang didirikan oleh Jinro-Coors, didirikan pada tahun 1994 hanya untuk ditelan oleh Oriental Brewery (OB) tidak lama kemudian pada tahun 1999.
Fondasi Era Pencerahan Industri Bir Di Korea
Beberapa faktor ikut berperan membantu terjadinya “Era Pencerahan Alkohol” ini, yang paling signifikan adalah perubahan peraturan yang sudah begitu lama menyumbat akses brand internasional untuk masuk, yang juga mempersulit kehidupan para pembuat bir lokal yang ingin memproduksi racikan mereka sendiri.
Hingga hari ini, Hite (yang sudah bersatu dengan Jinro di tahun 2006) dan Oriental terus mendominasi industri bir di Korea. Namun, pada tahun 90’an sejumlah kecil bir impor mulai masuk ke dalam negeri. Salah satu tempat pertama yang menyediakan bir impor adalah O’Kim Brauhaus, yang menawarkan segelas Guinness pada tamu mereka yang kehausan. Dari sana, permintaan untuk bir impor berkualitas mulai tumbuh.
Ketika pandangan dunia tengah tertuju pada Korea ketika Piala Dunia 2002 berlangsung, peraturan pajak minuman lokal telah dikabulkan dan pemerintah mulai memberi ijin bagi produsen-produsen bir kecil. Ijin ini masih membatasi cakupan distribusi, bir dari produsen kecil harus tetap berada di dalam lingkup bisnis pemilik.
Tempat-tempat seperti ini dikenal sebagai “brewpubs” dan perubahan peraturan ini membawa pertumbuhan besar pada jumlah rumah produsen bir di Korea.
Platinum, Oktoberfest, dan Castle Praha memasuki dunia produksi bir dan saling berinteraksi hingga saat ini, sangat jelas bahwa hukum pajak minuman ini adalah salah satu hambatan fundamental yang membuat bisnis produksi bir menjadi sangat berisiko.
Dari kurang lebih 140 produsen bir skala kecil yang membuka pintu pada tahun 2002, hanya menyisakan sejumlah kecil produsen yang berhasil bertahan. Meskipun banyak hambatan, tempat-tempat seperti ini akan terus muncul selama era 2000-an , dan dahaga masyarakat untuk bir yang segar dan unik pun terus bertambah.
Suasana yang antusias akan bir-bir unik pun tidak hanya dipantik oleh brewpubs saja, meningkatnya jumlah produk impor yang masuk pun ikut bermain. Meskipun tidak satu pun dari mereka itu yang masuk dalam kategori bir skala kecil, banyak produk impor yang menikmati popularitas pada saat itu.
Bagi Kim Kyo-ju, pendiri dari produsen kecil 7brau, ketertarikan terhadap produk impor di era awal 2000-an lebih terasa sebagai distraksi daripada bantuan. “Kepercayaan bahwa bir impor itu lebih superior dari bir lokal telah mendominasi bangsa” ujar Kim, “Terutama bir Jepang yang dianggap sebagai barang mewah.”
Namun pada sisi lain, hal ini ikut mendobrak gerbang bagi salah satu craft beer yang masuk ke Korea yaitu Alley Kat. Craft beer asal Kanada ini tiba di teluk Korea berkat usaha dari perusahaan yang bernama KaBrew yang didirikan oleh ahli racik bernama Park Chul, juga dengan bantuan dari pecinta bir, Michael Berry. Park Chul memulai bisnisnya di tahun 2000 dan membuka brewpub ketika tempat sejenis bermunculan di tahun 2002.
Ketika Alley Kat akhirnya masuk ke bar di Korea di pertengahan tahun 2006, produk itu segera menjadi hit dan ketika tren brewpub mulai runtuh, penjualan mereka membantu KaBrew bertahan dan terus maju menuju titik penting lain dalam sejarah bir di Korea. Alley Kat, bersama dengan produk impor lain, Big Rock, membantu meniup api popularitas Craft Beer pada masyarakat Korea.
Namun kenyataan pahit masih ada, bahwa seseorang bisa mengimpor craft beer dari belahan dunia lainnya untuk dijual namun craft beer yang dibuat oleh orang lokal masih belum bisa dijual di negeri sendiri karena terikat oleh peraturan.
Persetujuan Perdagangan Bebas antara Uni Eropa dengan Korea Selatan yang ditandatangani tahun 2009 merupakan langkah besar tidak hanya untuk impor bir dan wine dari luar negeri, tapi juga memudahkan konsumen untuk membelinya dengan harga yang pantas. Sebelumnya hanya mereka yang berkantong dalam yang bisa menikmati produk impor.
Kesempatan bagi warga Korea untuk mencoba produk impor menuntun pada perubahan selera dan preferensi pilihan produk yang lebih beragam sebagai alternatif dari produk lokal. Meskipun persetujuan dagang itu penting, namun keleluasaan untuk memproduksi bir pada tahun 2011 lah yang benar-benar membuka pintu sehingga bir dengan racikan bergaya Western mulai disukai di Korea.
Ketika Bir Lokal Mulai Muncul Ke Permukaan
Pada tahun 2010, sebuah bar craft beer dengan gaya Western muncul untuk pertama kalinya dengan menawarkan produk bir lokal yang berkualitas. Seperti penuturan pendiri Craftworks, Dan Vroon yang mengingat masa itu, “Orang akan masuk ke dalam gedung dan mengintip dari jendela atau menulis pada kami untuk menunjukkan dukungan atau menawarkan bantuan.” Komunitas yang ada saat itu sudah siap, dan kemitraan antara Craftworks dan KaBrew akan menandai angin perubahan bagi craft beer di Korea.
Pada hari-hari awal, Dan Vroon dan Park Chul telah bekerja bersama membuat bir dan menjualnya di atas kapal atau acara lainnya yang diprakarsai oleh KaBrew, namun tanda-tanda perubahan peraturan telah mempersiapkan mereka untuk mendorong kesempatan yang ada guna mengubah industri.
Di bawah undang-undang sebelumnya, pabrik bir harus mampu memproduksi lebih dari 1 juta liter bir setiap tahun, tetapi pada 2011 persyaratan kapasitas produksi untuk pabrik diturunkan menjadi 150.000 liter. Akan tetapi, yang lebih penting lagi, undang-undang distribusi yang baru direvisi yang memungkinkan bir yang diseduh oleh satu bisnis untuk dijual ke yang lain meramalkan dunia peluang baru.
Craftworks dimulai sebagai anak dari KaBrew agar mereka bisa menyuguhkan craft beer, tapi perubahan hukum di tahun berikutnya menghalangi produsen besar menjalankan bar mereka sendiri. Sehingga kemudian diserahkan pada pendiri Craftworks Taphouse & Bistro Inc, Dan Vroon dan rekan bisnisnya.
Mereka mulai melakukan langkah yang lebih gencar untuk menentukan bagaimana brand Craftworks diproduksi dan hal ini menandai awal baru dari kemitraan di mana KaBrew akan meracik bir yang diciptakan Craftworks dan Craftworks akan menjual bir itu di tempat yang mereka miliki. Proses ini, dikenal sebagai ‘contract brewing’ yang menjadi langkah evolusioner berikutnya bagi dunia craft beer di Korea.
Park Chul tahu bahwa Craftworks akan sukses, dan dia tidak salah. Bisnis berkembang pesat, dan diikuti oleh yang lainnya. Tidak jauh dari mereka, perusahaan lain bernama Magpie mulai beroperasi di tahun 2012 sebagai kumpulan dari orang-orang yang sangat menyukai bir racikan sendiri.
Sementara, Sung Lee, CEO dari Brewmasters Internasional bekerja keras untuk membawa lebih banyak produk impor ke dalam negeri dan mengubah persepsi tentang bir di sekitar masyarakat Korea.
Ketika peraturan mulai berubah di tahun 2011, 7brau memutuskan untuk menutup 2 cabang mereka dan dengan pertolongan investor, membuka fasilitas produksi mereka sendiri di Hoengseong. Karena kebutuhan berkapasitas tinggi untuk melakukan distribusi yang lebih luas, 7brau dan KaBrew berada di antara sejumlah kecil produsen yang mengikuti kelayakan legal yang memudahkan mereka mengambil posisi sebagai produsen kontrak di Korea pada saat itu.
Area Itaewon menjadi lahan subur bagi aktivitas bir, 7brau memulai kampanye mereka sendiri untuk memasuki pasar. “Kami menargetkan orang asing yang sudah terbiasa dan mampu mengapresiasi craft beer” ujar pendirinya, Kim Kyo-ju. “Ketika bir kami sudah mulai dikenal dari mulut ke mulut, kami mulai lebih percaya diri untuk meluncurkan bir kaleng kami sendiri.”
Sementara pelajaran dan kejatuhan di era awal 2000-an masih belum terlupakan, sudah saatnya melihat masa depan. Sudah waktunya untuk awal yang baru.
Gerak Cepat Di Tahun 2014
Inilah saatnya, revolusi bir sebagaimana dikatakan oleh orang-orang saat itu, terjadi besar-besaran. Pada tahun 2014, ketentuan kapasitas penyimpanan pabrik (pasca-fermentasi) diturunkan menjadi 50.000 liter. Angka beban pajak telah menurun dan disesuaikan dengan jumlah hasil produksi, dan akhirnya produsen-produsen baru pun bermunculan.
Salah satu faktor penting dalam pertumbuhan industri bir di Korea, menurut Dan Vroon dari Craftworks, adalah bahwa sejumlah besar dari peracik-peracik baru ini tidak hanya ingin meraup keuntungan semata, tapi memiliki hasrat dan dedikasi akan kemampuan racik mereka agar industri tetap tumbuh.
Diantara para peracik-peracik yang bersemangat ini adalah Hand&Malt, yang pertama membuka toko mereka di awal September 2014 dan bertujuan untuk menyematkan rasa mereka sendiri. Bryan Do, pendiri Hand&Malt menjelaskan, “Kami adalah underdog, kami tidak didukung oleh perusahaan besar manapun, kami adalah pembuat bir yang memiliki hasrat untuk memberikan bir terbaik bagi penikmat di Korea.”
Tapi Hand&Malt bukan satu-satunya pemain baru. Galmegi Brewing Company memulai bisnis mereka di tahun 2013 sebagai pub craft beer pertama di Busan dan telah memperluas jaringan dengan membuka cabang kedua di tahun 2014. The Korea Craft Brewery yang beroperasi awal tahun ini, adalah wajah baru lainnya. Mereka memulai dengan joint venture antara investor Korea dan perusahaan Jepang yang memproduksi bir Hitachino di Korea.
Hand&Malt dan Galmaegi Brewing Company berada di puncak era baru craft beer di Korea. Beberapa dari pemain baru ini, seperti Levee di Suwon, yang masih belum sukses selama awal 2000-an, telah menantikan perubahan hukum ini sehingga mereka bisa mengambil kesempatan lain untuk membuka bisnisnya.
Dan bukan hanya pembuat bir yang bekerja keras untuk masa depan bir yang lebih cerah di Korea. Banyak bar dan pub yang saat ini makin dalam terlibat dengan menggunakan sistem pembuat bir kontrak sebaik-baiknya, hingga kemudian menjadi landasan awal dari pasar craft beer. Bar seperti The Booth, Lovibond, Magpie dan tentu saja Craftworks adalah beberapa nama diantara banyak produsen seperti 7brau dan KaBrew yang menciptakan ramuan bir asli buatan mereka sendiri yang kemudian dijual di banyak bar. Sementara, bar seperti Springs Taphouse, yang memulai mengimpor bir dari Kanada di tahun 2013, terus membantu menyebarkan kesadaran tentang craft beer pada masyarakat.
Tapi pada satu dan lain hal, langit masih belum cerah, dan bayang-bayang masih menggantung di atas kepala. “Hubungan dengan pemerintah masih alot, memulai bisnis di Korea tidak semudah negara lainnya. Ada bantuan yang diberikan oleh pihak kota, tapi hanya berupa pengenalan, selebihnya harus dilakukan sendiri.” ujar Bryan Do.
Sementara hukum masih terus bergerak ke arah yang lebih baik, masih ada jalan panjang yang harus dilalui sebelum peraturan akhirnya tidak lagi hanya berpihak pada produk massal. Perusahaan seperti 7brau mengeluhkan bahwa perbandingan antara rasio dari biaya tetap mereka dengan perusahaan besar mempersulit persaingan di pasaran.
Situasi bagi para produsen kecil makin rentan karena perusahaan produsen besar mulai melihat perubahan selera konsumen mereka dan mulai melakukan penyesuaian strategi.
Produk bir baru mulai diluncurkan oleh OB dan Hite, dan belum lama ini Lotte Liquor memasuki arena pasar dengan produk bir mereka, Kloud, yang dibuat dari bahan-bahan Eropa dan Jerman.”Ini adalah pedang bermata dua,” ujar Bryan Do dari Hand&Malt, “Karena pada satu sisi hal tersebut akan membantu membawa kesadaran yang lebih luas tentang craft beer, namun pada sisi lain , kami sebagai pemilik usaha kecil tidak memiliki kekuatan finansial untuk melakukan pemasaran atau ekspansi penjualan.”
Dengan kata lain, bola telah bergulir dan tidak ada waktu untuk mundur kembali. Mau tidak mau, lansekap industri bir akan mengalami perubahan besar.
Meskipun dokumen, logistik, pajak tinggi dan peraturan “tak bertuan” yang tetap mengikat dan membatasi, atmosfir optimis tetap terasa di komunitas craft beer Korea. Ada lebih banyak produsen kecil dan craft beer di Korea dari yang pernah ada sebelumnya.
Hukum terus berubah, membuka perlahan kesempatan agar pembuat bir skala mikro tetap berkembang, dan terima kasih atas usaha dari banyak grup seperti The Seoul Brew Club dan Korea Microbrewery Association, jaringan orang-orang yang bersemangat untuk memberikan bir berkualitas ke Korea lebih kuat dari sebelumnya.
Kesadaran masyarakat akan craft beer terus tumbuh bersamaan dengan munculnya acara seperti Media Paran , sebuah festival craft beer Korea yang mengundang makin banyak orang setiap tahun. “Banyak orang bertanya jika kita saat ini telah menggapai puncak,” ujar Dan Vroon dari Craftworks, “Tapi aku percaya bahwa hal ini baru 1% saat ini, dan akan terus tumbuh.”
Sumber:
https://10mag.com/the-story-of-how-craft-beer-in-korea-started/