Kenapa Harus Dilarang?
By • Wednesday, 7 October 2015

Dalam sebuah acara debat pelonggaran aturan miras, dikatakan bahwa negara kita sedang berada dalam keadaan “darurat akibat minuman keras”. Beberapa bulan lalu saat bir sudah dilarang beredar di minimarket, isu RUU Larangan Minuman Beralkohol mulai dibahas dan dirampungkan kembali. RUU itu punya rentetan hukuman yang cukup jelas dan berat bagi siapapun yang memproduksi, mendistribusikan dan mengonsumsi minuman beralkohol . Lho, memangnya peminum itu seorang kriminal ya?

Peraturan yang terlalu ketat itu tentu tidak mendapatkan restu dari para penikmat bir. Bahkan yang tidak menikmati bir sekalipun seperti Bapak Gubernur DKI Jakarta, juga tidak merestuinya. Beliau takut hal itu hanya akan meningkatkan angka peredaran alkohol ilegal yang berbahaya. Seperti kalau kita berkaca kepada AS, pelarangan alkohol di tahun 1920 justru menimbulkan tokoh kriminal seperti Al Capone.

Sebagai minuman beralkohol golongan A, kenapa bir harus dilarang? Padahal menurut A Hok,  minuman beralkohol golongan A sebenarnya tidak termasuk miras. Yang berbahaya justru adalah minuman beralkohol yang telah dioplos dengan bahan atau zat lainnya.

Definisi minuman keras sendiri adalah minuman beralkohol mengandung etanol yang dihasilkan dari proses penyulingan seperti arak, vodka, gin, tequila, rum, wiski, brendi dan soju. Sedangkan bir adalah minuman fermentasi yang tidak disuling sehingga jauh lebih rendah kadar alkoholnya. Jadi ya memang beda dan barangnya pun tidak bisa dianggap sama.

Menurut Anggara, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Indonesia perlu belajar dari negara tetangga, Australia, yang sempat memberlakukan politik total banning atau melarang total peredaran minuman beralkohol.

“Kalau pemerintah mau belajar dari Australia, politik total banning itu pernah diterapkan dan itu gagal total. Karena itu pemerintah Australia menerapkan pembatasan yang sangat ketat di antaranya soal jam pembelian. Di atas jam 21.00 (minuman beralkohol) sudah tidak boleh dibeli,” ujar Anggara dalam sebuah acara diskusi di Cikini, Jakarta, Sabtu (3/10/2015).

Menurutnya, aturan tersebut justru akan merugikan masyarakat, salah satunya dalam sektor ekonomi. Bila peraturan tersebut digalakkan maka investasi minuman beralkohol akan ditarik besar-besaran dari Indonesia dan dipindahkan ke tempat lain. Sehingga akan mengakibatkan kerugian ekonomi bagi pemerintah dan juga masyarakat yang bekerja di sektor-sektor industri tersebut.

“Kita tidak boleh melihat hanya industri minumannya. Tapi industri derivatifnya. Hotel, kafe, bar dan sebagainya itu yang akan terkena. Karena mungkin saja di tempat-tempat tertentu akan ada pengurangan yang sangat luar biasa,” tambah Anggara.

Dari peraturan pembatasan alkohol yang baru dikeluarkan bulan April lalu saja sudah berimbas pada pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi para karyawan perusahaan minol karena produksi berkurang hingga 50% dari kapasitas normal. Hal itu disampaikan oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Minuman Beralkohol, Bambang Britono dalam kesempatan yang sama. Ia menambahkan bahwa seharusnya program kampanye untuk mengendalikan dan mencegah minuman berbahaya seperti oplosan itu perlu dibangun oleh pemerintah. Pihaknya pun siap membantu jika pemerintah mau melakukan sosialisasi agar tidak jatuh lebih banyak korban akibat minuman oplosan.

Para pelaku usaha sebenarnya hanya menginginkan kepastian hukum yang jelas dari pemerintah soal peraturan “darurat akibat miras”. Kalau larangan minuman beralkohol dirasa sebagai solusi untuk keadaan ini, akankah pasar dan konsumen alkohol benar-benar menghilang? Padahal isu “pasar gelap” acap kali disebut-sebutkan sebagai musuh yang harus dilawan bersama.

Para penikmat bir boleh merasa miris jika seluruh dosa minuman oplosan  harus ditumpakan kepada bir. Ingat, esensi meminum bir adalah bergembira, bukannya menciptakan melankolia.

Via: Kontan.co.id , Solidaritas.net

MM

 

 

Share this :