Fenomena Merchandise Dalam Kultur Bir Lokal
By • Wednesday, 23 May 2018

Bagi penikmat musik, khususnya kolektor, istilah merchandise tentu bukan hal yang asing lagi. Kamu pergi ke sebuah konser lalu menemukan sebuah stand kecil di pojokan yang menjual berbagai macam atribut yang berhubungan dengan band tersebut seperti kaos, topi, stiker, dan lain sebagainya, nah, kurang lebih seperti itu lah pengertian merchandise secara umumnya.

Di dalam ilmu ekonomi sendiri, merchandise merupakan senjata inti pertama yang menekankan pada persediaan, harga, kualitas, dan manfaat produk bagi konsumen. Untuk kasus dalam dunia musik tadi, merchandise memiliki fungsi sebagai value added service dari produk inti yang ditawarkan, yaitu album fisik dari band yang bersangkutan.

Bicara merchandise sebagai VAS atau value added service dari sebuah produk, tentu tidak melulu harus berkaitan dengan musik ataupun dunia olahraga. Dalam kultur F&B, tradisi merchandise ini juga lumayan berjalan dan memegang faktor penting bagi brand yang bersangkutan, selain sebagai mesin pundi-pundi pendapatan ekstra tentunya. Sebagai contoh, sebut saja Hard Rock Cafe. Logo ikoniknya yang dicetak ke dalam kaos terbukti menjadi salah satu atribut yang paling diburu oleh banyak orang dan sukses menjadi sebuah collector’s item karena masing-masing Hard Rock Cafe yang tersebar di penjuru dunia dapat menyertakan nama negaranya di bawah logo tersebut. Ini pun yang juga terjadi di dunia craft beer. Kehadiran sebuah merchandise telah menciptakan sebuah sub kultur tersendiri bagi para penikmatnya.

Ok, sekarang kalau kita bicara tentang tradisi merchandise dalam kultur bir lokal di Indonesia, kira-kira sudah sejauh mana sih perkembangannya?

Kalau di Jakarta sendiri, sejujurnya kami kurang begitu memperhatikan dampak merchandise bir lokal bagi konsumen secara keseluruhan. Mungkin ada sih yang memakainya, hanya tidak terdeteksi secara detil saja. Tapi kalau kita pergi ke Bali, ini jelas berbanding terbalik dengan apa yang biasa dilihat di Jakarta atau kota-kota besar lainnya. Hampir semua turis, lokal maupun internasional, nyaris memakai ‘seragam’ yang sama ketika berada di Bali –> singlet kutang Bir Bintang yang sangat legendaris itu.

Sumber foto: Google

Yup, tidak bisa dipungkiri kalau singlet Bir Bintang yang acap kali kita lihat di Bali itu merupakan sebuah fenomena tersendiri. Seperti ada semacam ‘syarat yang tak tertulis’ kalau sedang berlibur di Bali, wajib memakai kostum tersebut. Seorang kawan saya, kebetulan warga negara asing, pernah sampai minta dikirimkan kaos singlet Bir Bintang. Entah karena dia memang penggemar bir tersebut atau hanya suka dengan merchandise-nya. Coba kalau kamu pergi ke Bali, di sepanjang Kuta hingga Legian pasti akan menemukan lapak-lapak yang menjual produk-produk Bir Bintang mulai dari kaos dengan warna dan desain suka-suka, pembuka botol, tas, hingga wadah untuk memegang botol bir ukuran 330ml dengan logo Bir Bintang di depannya.

Sumber foto: https://backoftheferry.com

Karena maraknya produk bootleg dari Bir Bintang yang beredar di Bali, kami mencoba bertanya langsung kepada pihak Multi Bintang Indonesia, selaku pemegang merek Bir Bintang, termasuk juga di dalamnya segala bentuk merchandise dan hak ciptanya. “Merchandise Bir Bintang sebenarnya hanya diperuntukkan untuk consumer Bintang kalau kami sedang ada promo atau aktivasi. Jadi memang tidak pernah menjual merchandise untuk tujuan tertentu,” seperti yang dituturkan oleh Ipung Wicaksono dari Multi Bintang Indonesia.

Sumber foto : https://www.indoneo.com/

Sumber foto : https://www.indoneo.com

Mengenai fenomena produk Bintang yang dibajak secara masif, Ipung pun tidak menampik kalau itu memang terjadi. “Sejujurnya sih, kami tidak setuju dengan pembajakan. Kaos-kaos yang beredar tersebut hitungannya kan termasuk bentuk pembajakan juga. Tapi memang tidak bisa dilihat dari satu sisi saja mengenai pembajakan ini. Di satu sisi, ini merupakan produksi UKM yang tentu bisa menjadi mata pencaharian buat masyarakat golongan menengah ke bawah. Di sisi lainnya, ini merupakan sebuah kehormatan juga kalau merek Bintang bisa menjadi sebuah produk yang ikonik untuk oleh-oleh atau merchandise khas Bali. Ada semacam branding kalau Bali itu sama dengan Bir Bintang,” lanjutnya lagi.

Sumber foto: http://miner8.com

Keberadaan merchandise memang tidak luput dari pembajakan. Demand yang besar serta word of mouth yang kuat di masyarakat bisa saja menjadi pemicu beredarnya barang-barang ‘tak resmi’ ini. Merchandise sendiri bisa diibaratkan bak pisau bermata dua. Sama-sama menguntungkan dan sama-sama bisa memberikan nafkah, serta bisa menjadi ‘mesin pembunuh’ bagi satu pihak. Untuk bootlegger, jelas ini merupakan keuntungan 100% yang bisa diambil tanpa harus memberikan royalty kepada si empunya merek yang sah. Sementara bagi pemegang merek yang sahih, secara finansial mereka memang merugi, namun diuntungkan juga dengan promosi gratis dari barang yang diproduksi di luar jalur resmi. Proses jual beli barang bajakan ini pun kini sudah mulai merambah ke sistem yang lebih modern (transaksi daring), tidak lagi mengandalkan transaksi secara konvensional.

By the way, adakah di sini kolektor yang berhubungan dengan bir?

Cheers!

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Share this :