Quo Vadis, Beer?
By • Wednesday, 18 March 2015
Tags : / /

Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 6/2015 yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel, tentang pengendalian dan pengawasan terhadap pengadaan, peredaran, dan penjualan minuman beralkohol, menimbulkan banyak polemik di kalangan masyarakat. Bagi yang tidak minum bir (atau bukan peminum) dan polisi-polisi moral, ini tentu dapat menjadi sebuah berita menggembirakan, sekaligus membentuk opini publik bahwa alkohol adalah pangkal dari segala kejahatan. Bagi mereka yang peminum bir (mohon digarisbawahi; peminum, bukan pemabuk), ini tentu menjadi kabar yang kurang menyenangkan.

Permendag No. 6/2015 ini merupakan perubahan kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan No. 20/2014 tentang pengendalian dan pengawasan terhadap pengadaan, peredaran, dan penjualan minuman beralkohol yang akan aktif diberlakukan pada tanggal 16 April 2015. Jadi, dengan kata lain, semua minimarket di seluruh Indonesia, tidak akan lagi memajang dan tidak boleh lagi menjual minuman beralkohol golongan A atau setara dengan kadar alkohol 5%.

Rachmat Gobel menjelaskan, bahwa tujuan dikeluarkannya Permendag ini semata ingin melindungi konsumen (baca: generasi muda) dari pengaruh-pengaruh buruk. Menurutnya, Indonesia masih terlampau bebas dalam hal peredaran minuman keras, terutama di sektor pasar swalayan kecil seperti minimarket tersebut. Kami berpendapat kalau argumen tersebut pointless, seperti hendak membunuh satu ekor tikus di lumbung padi dengan cara membakar seluruh lumbung tersebut. Sebuah solusi yang tidak tepat sasaran.

Beberapa waktu lalu, kami pernah iseng-iseng melemparkan wacana mengenai Permendag no. 6/2015 ini ke akun Twitter kami, @Beergembira. Sekedar untuk tahu opini netizen tentang peraturan ini, mendukung atau tidak.

Respon yang kami terima bermacam-macam. Akun @torantula berpendapat bahwa edukasi jauh lebih penting dibandingkan dengan pelarangan. “Anak-anak jaman sekarang kurang paham mengenai bahaya alkohol. Edukasi akan membuat anak-anak ini paham makna “drink responsibly“, tanggung jawab mereka ke diri sendiri maupun ke orang lain,” lanjut @torantula.

Pemilik akun @sammybramantyo punya tanggapan tersendiri mengenai Permendag tersebut. “Setuju kalo tujuannya supaya orang tidak pada mabuk di minimart. Tidak setuju kalo tujuannya supaya underage tidak membeli bir. Ngga efektif,” tulisnya.

Rudolf Dethu, propagandis sekaligus juga seorang single malt enthusiast, punya insight yang cukup menarik atas isu yang sedang berkembang terkait dikeluarkannya Permendag no. 6/2015 ini. Kami mencoba mengulik sedikit pendapat pria yang pernah bermukim di Sydney, Australia, ini melalui sebuah wawancara singkat melalui surat elektronik.

Hi Dethu, bisa diceritakan pengalamannya ketika berada di Sydney mengenai kultur minum di sana, bagaimana orang di sana membeli minuman beralkohol, dan aturan mengenai minum di sana?

Saat gue bermukim di Sydney, memang betul, orang Australia itu kebanyakan merupakan peminum (terutama bir) yang eksesif. Yang paling standar itu ya saat jam kerja usai. Entah langsung pulang dan segera minum bir atau singgah ke pub dulu minum seteguk dua teguk bir baru pulang. Bir itu bak berfungsi sebagai pelepas penat, penyejuk jiwa, pendamping relaksasi paling mendasar. Yang mengagetkan adalah bahwa tak mudah mendapatkan bir atau minuman beralkohol (mikol) di Sydney dan daerah-daerah di Australia lainnya. Tak seperti di sini, saat hendak memasok mikol untuk keperluan di rumah, tinggal pergi ke minimarket atau supermarket, udah, bisa dapetin mikol dengan mudah. 24 jam bisa memperolehnya, tanpa harus pergi ke bar yang notabene harganya jauh lebih mahal. Kalau di Sydney malah, surprise surprise, tak terlalu gampang membeli mikol. Mikol tak bisa diperoleh di sembarang tempat. Mikol hanya bisa dibeli di “bottle shop”. Di supermarket, apalagi minimarket, pemerintah resmi melarang menjual mikol. Di tiap kecamatan biasanya ada satu atau dua “bottle shop” yang jam bukanya seperti toko biasa, 8 pagi hingga 6 sore (kecuali di pusat-pusat keramaian macam di Oxford street “bottle shop” buka hingga 9 malam atau tengah malam). Yang di suburb biasanya hanya buka hingga jam 6 sore. Jadi jika hendak minum mikol, kita mesti memikirkan secara serius, membelinya seperti kita memasok kebutuhan pangan. Bukan saat berminat minum tinggal keluar rumah lalu membelinya di minimarket deket rumah. Namun mencatatnya di daftar belanja mingguan, atau singgah sebentar ke “bottle shop” saat perjalanan pulang kerja (mesti agak terburu-buru agar tak keburu tutup).  Jadi mesti terencana.

Ok, sebagai salah satu peminum bir yang aktif, perbedaan apa yang anda rasakan ketika minum bir di sini dengan di luar negeri?

Minum bir di Sydney itu sensasinya sedikit beda dengan di sini. Selain seperti yang disebut di atas, mesti terencana, juga tak bisa di sembarang tempat. Asal stop aja di sebuah taman dan mengeluarkan pasokan bir yang kita bawa lalu minum bersama sejawat, misalnya. Kita mesti cek betul-betul terlebih dahulu apakah di taman tersebut boleh mengkonsumsi mikol. Mengkonsumsi mikol, seperti halnya merokok, hanya diijinkan di tempat-tempat bertanda khusus.  Belum lagi larangan berkendara setelah mengkonsumsi mikol dalam jumlah tertentu (aturan yang biasanya diikuti umum adalah setelah minum bir 2 gelas, jeda dulu sejam, setelah sejam silakan minum segelas lagi, setelah itu jeda sejam lagi, demikian seterusnya. Ini untuk menyiasati breathalyzer.) Dan orang Australia itu benar-benar takut melanggar peraturan drink and drive ini sebab hal ini dianggap kejahatan besar, selain hukumannya berat juga dendanya tinggi. Plus dianggap amat hina oleh masyarakat jika kita berkendara sambil mabuk. Artinya, sekali lagi, mengkonsumsi mikol itu erat kaitannya dengan preparasi yang baik. Minum di mana, sama siapa, menggunakan kendaraan apa, berangkat jam berapa. Saya, misalnya, saat hendak menonton konser, skenarionya biasanya: minum dulu di rumah, lalu naik kendaraan umum (biasanya bis dan disambung naik kereta), jika sedang ultra bokek, gue kadang bawa tas yang di dalemnya isi mikol, dekat tempat konser cari taman yang boleh minum mikol, lalu saat tiba di tempat konser pesan mikol lagi. Pulang dari nonton konser lanjut pulang naik kendaraan umum. Tentu saja di dalam kendaraan umum sebagian isinya orang yang sudah banyak mengkonsumsi mikol (baca: berisik). Tapi jarang sekali terjadi keributan. Sebab sopir bisa saat itu juga menghentikan kendaraannya dan meminta si pengacau turun dari bis jika dianggap telah meresahkan.

Pada dasarnya anda setuju tidak dengan Permendag no.6/2015? Ada saran atau masukan bagaiman kita, sebagai peminum bir, menyikapi aturan tersebut?

Gue sama hal-hal larang melarang di negeri ini paling geli sebenarnya. Sudut pandang yang dipakai hampir selalu agama. Ini negara kurang agamis gimana lagi, buktinya masih mencret aja. Hihi. Anyway, gue lebih setuju dengan konsep “bottle shop” seperti di Australia. Mikol tak dijual bebas. Hanya bisa dibeli di gerai-gerai tertentu, dengan rentang waktu terbatas, dan difilter siapa yang membelinya (mesti menunjukkan KTP saat hendak membelinya, memastikan agar anak di bawah umur terdeteksi). Sudah begitu, peraturan drink and drive harus ditegakkan, dibikin sangat ketat sehingga ke depannya kian sedikit orang mati konyol. Gue paling tak setuju dengan aturan melarang sama sekali penjualan mikol. Mikol jangan dikait-kaitkan dengan dosa. Mikol adalah sarana relaksasi, melepas penat, mengendurkan ketegangan. Manusia butuh relaksasi. Mikol salah satu outlet-nya. Coba, bandingkan saja tingkat kejahatan di negara yang bebas-tapi-terjaga penjualan mikolnya dengan yang melarang sama sekali beredarnya mikol, lebih tinggi kriminalitasnya di mana?

“Minum bir sebagai sarana relaksasi”, well, kami sangat sepakat dengan point ini. Tapi lagi-lagi, umur memang bukan jaminan seseorang dapat minum secara bertanggung jawab. Kesadaran tersebut memang harus datang dari diri sendiri, tanpa harus ditekan terlebih dulu dengan hukum dan peraturan. Alangkah baiknya jika tiap pihak paham benar role play masing-masing; baik dari sisi penjual maupun konsumen. Whaddya think?

Share this :