Sore hari pukul lima, cuaca sudah tidak terlalu panas, namun tanda-tanda akan turun hujan sepertinya juga tidak nampak. Di sebuah restoran kecil yang apik bernama Lot8 Resto & Bar yang terletak di dalam kawasan SCBD, beberapa kawan dari Bir Bintang dan juga sahabat kami, Abie Borneo, seorang dokter THT yang juga pemilik Borneo Beer House, sedang bersantai-santai sambil menikmati dinginnya bir yang disajikan melalui kemasan botol. Hari itu, Senin 23 Maret, kami memang sengaja mengundang beberapa kawan dari berbagai latar belakang budaya, agama, dan pekerjaan untuk sekedar ngobrol-ngobrol santai dengan mengangkat tema “Happy Hour & Ngobrol Santai: Menghargai Keanekaragaman Kultur Dalam Seteguk Bir Dingin”.
Jam sudah menunjukkan pukul 6 lewat, beberapa kawan yang kami undang seperti Arian13, Rudolf Dethu, Mikael (Beer Garden), dan Josephus Primus dari kompas.com, juga sudah tampak. Sepertinya kemacetan Jakarta sore itu membuat beberapa undangan lainnya masih harus berjuang menembus rimba jalanan ibu kota untuk sampai di kawasan SCBD.
Acara diskusi santai pun dibuka oleh Ade Putri, yang juga memiliki pseudo identitas bernama mommybeer – sebagai perwakilan dari www.beergembira.com. Supaya diskusinya berlangsung santai dan tidak terlalu formil, kami mengajak beberapa peserta untuk terlebih dulu mengenalkan diri masing-masing serta menceritakan latar belakang pengalaman personal dan ketertarikannya terhadap bir. This is gonna be interesting!
Bir dan Kultur Indonesia
Mikael, salah satu pemilik dari gerai Beer Garden, menceritakan awal ketertarikannya pada bir saat tinggal selama 5 tahun di Sydney, Australia. Di Sydney, di mana varian dari bir pun bermacam-macam, minum bir bagi masyarakat di sana sudah merupakan bagian dari kultur dan kebiasaan. Orang letih dari seharian bekerja di kantor, cara melepaskan penatnya dengan meminum bir sebagai bentuk dari relaksasi. Dan untuk membeli sebuah botol bir, orang harus membelinya lewat toko khusus atau bottle shop, yang memang diperuntukkan untuk penjualan bir dan minuman beralkohol lainnya. Ketika ia pulang ke Indonesia di tahun 2010, Mikael melihat bahwa kultur minum bir di sini masih dianggap tabu dan mewah. Lalu melalui gerai Beer Garden-nya, ia mencoba mengubah image minum bir sebagai hal yang tabu menjadi sesuatu hal yang sifatnya rekreasi dan jauh dari kesan fancy.
Senada dengan Mikael, Arian13 pun lebih memilih meminum bir sebagai sarana rekreasinya. “Mungkin beberapa orang memilih untuk nongkrong di coffee shop dan meminum kopi selepas pulang kerja. Kalo gue sih lebih memilih untuk minum bir! Either bir atau teh. Gue ngga suka kopi!” tegasnya sambil tertawa.
Obrolan santai ini pun lalu berlanjut ke topik yang tidak kalah serunya, yaitu korelasi alkohol dengan kultur Indonesia. Komang Wibawa, yang berprofesi sebagai brewer di Multi Bintang, produsen Bir Bintang, menjelaskan bahwa proses fermentasi alkohol bukanlah suatu hal yang asing di Indonesia. Ia mencontohkan proses pembuatan tape menjadi alkohol sesungguhnya adalah bagian dari budaya lokal. Kawan-kawan dari Milis Jalan Sutra pun berpendapat sama, bahwa di setiap pelosok di seluruh Indonesia pasti ada suatu kekhasan tertentu berupa minuman beralkohol,yang lahir dan sudah melekat sebagai bagian dari tradisi daerah tersebut. Boleh dibilang, proses fermentasi sudah menjadi DNA dari budaya Indonesia.
Rudolf Dethu, pria yang menggemari single malt, peminum bir aktif, dan pernah menjabat sebagai personal manager untuk band Superman Is Dead, menceritakan pengalamannya seputar alkohol dari kaca mata orang yang lahir dan besar di Bali. Menurutnya, kebiasaan minum bir di Bali sudah merupakan bagian dari budaya. Kebiasaan ini seolah seperti sudah diajarkan sedari kecil, secara informal, bahwa bir adalah bagian dari tradisi.
Bir vs Moral
Mengacu pada Permendag No.6/2015, terhitung tanggal 16 April nanti semua mini market di seluruh Indonesia tidak akan lagi memajang dan tidak boleh lagi menjual minuman beralkohol golongan A atau setara dengan kadar alkohol 5%. Termasuk, bir tentunya. Mengkutip isi Permendag tersebut, bahwa tujuan dikeluarkan aturan tadi adalah sebagai bentuk upaya untuk melindungi moral dan budaya masyarakat. Terdengar agak ganjil menurut kami. Dengan kata lain, pemerintah seolah-olah memukul rata bahwa semua moral dan budaya Indonesia yang berkaitan dengan bir adalah dosa. Lalu bagaimana dengan masyarakat Toraja yang mengkonsumsi bir sebagai bagian dari tradisi upacara kedaerahan?
Kami sepakat jika aturan dibuat supaya orang minum secara bertanggung jawab. Hanya mereka yang sudah berumur 21+ yang boleh membeli dan mengkonsumsi bir. Tapi jika urusannya sudah menyangkut-pautkan bir dengan moral dan keyakinan, kami berpendapat bahwa pemerintah sudah masuk ke ranah pribadi. Aturan harus dibuat secara adil, tidak menguntungkan pihak tertentu, serta tidak bersifat diskriminatif. Sebagai contoh, di Eropa dan Amerika, aturan untuk membeli dan mengkonsumi bir cukup ketat. Peraturan dibuat bukan untuk melarang minumannya, melainkan agar penjual dan konsumen dapat bersama-sama bertanggung jawab dalam mengedarkan dan mengkonsumsi bir tersebut. Penjual hanya boleh menjual bir kepada mereka yang berumur 21+ dan konsumen juga tidak boleh mengkonsumsi bir di sembarang tempat atau sambil melakukan aktivitas tertentu yang dapat membahayakan keselamatan diri sendiri dan orang lain. Learn how to drink responsibly.
Permasalahan mengenai minuman beralkohol—sekali lagi, tidak relevan jika terus menerus disandingkan dengan urusan moral. “Kisruh soal Permendag ini sebenarnya hanya masalah perbedaan pendapat yang tetap harus dihargai, tapi tidak bisa dipaksakan. Kalau isunya mengenai satu keyakinan tertentu, tidak semua orang punya keyakinan yang sama dan wajib mengikuti tata tertib dari keyakinan tersebut,” cetus Abie. Couldn’t agree more.
Aturan vs Konsumen: Dampak & Cara Menyikapinya
Tahun 2013, sekelompok fundamentalis di Mesir sempat melakukan aksi pelarangan penjualan bir dan minuman beralkohol di beberapa bottle shop yang tersebar di sana. Seperti dikutip dari www.english.alarabiya.net, mayoritas bottle shop di sana memiliki izin penjualan yang diakui legalitasnya oleh pemerintah dan aparat penegak hukum. Pemerintah Mesir tidak melakukan pelarangan terhadap penjualan minuman beralkohol, namun aksi boikot ini justru dilakukan oleh kelompok masyarakat tertentu. Tentu saja ini berdampak krusial terhadap pariwisata Mesir dan pendapatan negara dari pajak penjualan minuman beralkohol. Contoh kasus di Mesir tadi bukan tidak mungkin akan menimbulkan dampak yang serupa di Indonesia. Bahkan, lebih parahnya, bisa menaikkan angka kematian yang drastis karena konsumen akan melegalkan segala cara untuk dapat menikmati minuman beralkohol yang diproses secara swadaya tanpa memperhatikan faktor kesehatan dan standar fermentasi alkohol yang sudah baku.
Lalu bagaimana mensiasati kondisi seperti yang dialami oleh Mesir serta mengaplikasikannya dengan situasi yang dialami oleh Indonesia terkait dengan issue Permendag No.6/2015? Kami semua yang hadir dalam diskusi ini bersepakat, masyarakat Indonesia yang menghargai keragaman dan menghormati pilihan berhak untuk mendapatkan informasi yang benar, akurat dan balance tentang bir. Di sini kami hadir dan berperan. Beergembira untuk menjadi tempat netral berbagi cerita dan fakta yang benar tentang bir, Do’s and Don’ts dalam mengkonsumi minuman beralkohol dan menjadi penikmat bir yang bertanggung jawab.
Copyright Beergembira.com. All rights reserved. 2024.