Sebelumnya, kami pernah membahas tentang tuak yang ada di dalam kultur masyarakat Batak. Tak hanya di Sumatera, di Sulawesi juga terdapat minuman alkohol tradisional yang bernama saguer dan Cap Tikus.
Saguer berasal dari kata ‘air sagu’ karena warnanya yang putih susu seperti sagu. Minuman ini adalah hasil fermentasi air nira dan rasanya manis, agak pahit dan asam. Kadar alkoholnya berkisar 4-5 persen dan ketika masih segar minuman ini akan mengeluarkan busa.
Saguer sangat lekat dengan tradisi Minahasa. Jadi, jangan heran kalau masyarakat lokal mengakui adanya dewa-dewa minuman alkohol ini. Menurut Jessy Wenas, penulis buku “Sejarah dan Kebudayaan Minahasa”, legenda Minahasa mengenal tiga dewa saguer: Makawiley, Kiri Waerong yang dihubungkan dengan pembuatan gula merah dari saguer yang dimasak, dan Parengkuan yang dihubungkan dengan air saguer.
Dalam buku N. Graafland berjudul “De Minahasa“, Graafland menulis: “Het is de drank der Empung en Kasuruan, een godendrank, die bijna voor heilig gehouden wordt, de saguwer” yang jika diartikan kedalam bahasa Indonesia “(itu adalah) minuman para Empung dan Kasuruan (leluhur dan dewa-dewa), minuman dewata, minuman yang hampir dianggap suci: saguer.”
Awalnya, ada hukum adat yang menyatakan bahwa saguer adalah minuman dewa dan leluhur sehingga tidak boleh diperdagangkan. Namun pada abad ke-18, minuman ini mulai boleh untuk diperdagangkan sebagai tambahan penghasilan bagi petani.
Saguer dibuat dengan cara mencampur air nira segar (mentah) yang berasal dari pohon aren dengan air nira yang sudah lama, yang telah berfermentasi dan punya endapan di sebuah ruas bambu dengan ujung saringan yang terbuat dari ijuk kelapa. Semakin bersih ijuknya, maka semakin baik kualitas airnya. Kemudian campuran kedua air tersebut dibiarkan selama beberapa waktu. Pengambilan air ini biasanya dua kali sehari, yaitu pagi dan sore. Aktivitas menyadap pohon aren ini disebut “batifar” oleh masyarakat lokal.
Namun, kalau campuran air nira tersebut disuling dengan lama, kadar alkoholnya akan naik. Inilah yang akan menjadi minuman alkohol yang dikenal di pasaran dengan nama Cap Tikus.
Minuman keras tradisional Minahasa ini awalnya dikenal dengan nama sopi. Namun, nama sopi berubah menjadi “Cap Tikus” sebelum tahun 1829, ketika orang Minahasa yang mengikuti pendidikan militer untuk menghadapi perang Jawa menemukan sopi dalam botol-botol biru dengan gambar ekor tikus. Sopi ini dijual oleh para pedagang Tiongkok di Benteng Amsterdam, Manado.
Cap Tikus memiliki kadar alkohol sangat tinggi yaitu sekitar 50%, maka itu diminum menggunakan sloki atau gelas kecil. Masyarakat lokal menyakini bahwa Parengkuan adalah orang Minahasa pertama yang membuat minuman Cap Tikus karena Parengkuan memiliki kata dasar “rengku” yang artinya: minum sekali teguk dari tempat minum yang kecil, atau sloki.
Minuman ini tidak cuma digunakan untuk penghangat badan dan penambah semangat kerja, tapi juga digunakan saat upacara masuk rumah baru. Sebagai bentuk penghormatan terhadap dewa pembuat rumah, leluhur Tingkulendeng, dinyanyikan lagu “Marambak” dan sang tuan rumah harus menyiapkan sopi atau Cap Tikus kepada Tonaas, pemimpin upacara.
Sayangnya, saat ini banyak yang menyalahgunakan minuman ini. Cap Tikus diminum untuk ajang gengsi-gengsian, diteguk sampai si peminumnya mabuk. Bahkan, ada istilah lokal mengenai takaran minumnya: “Satu sloki tambah darah, dua sloki nae darah, tiga sloki tumpah darah”. Maksudnya adalah satu sloki bisa menambah darah (bersemangat kerja), dua sloki bisa membuat naik darah (marah), dan tiga sloki bisa terjadi tumpah darah (perkelahian).
Jadi, aturannya tetap sama: Kalo ngana mau bagate, ngana musti tau batasnya.
*bagate = minum minuman keras
AM
Kompasiana, Berita Manado, dan My Tomohon.
Image via anggara9 @ WordPress
Copyright Beergembira.com. All rights reserved. 2024.